makalah ijma dan qiyas
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sebelum membahas ijma’ dan qiyas maka sebelumnya kita harus
mengenal ijtihad, karena ijma dan qiyas adalah salah satu metode ijtihad itu
sendiri. Dan ijtihad itu sendiri termasuk sumber hukum islam.
Ijtihad adalah aktivitas yang dilakukan oleh seorang faqih untuk
memperoleh hukum zani, secara etimologi ijtihad diambil dari kata al-jahd atau
al-juhd, yang berarti al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqat
(sesanggupan dan kemampuan). Dalam Al-Qur’an surat at-atubah ayat 79
diterangkan:
úïÏ%©!$#ur
w
tbrßÅgs
wÎ)
óOèdyôgã_
tbrãyó¡tsù
“dan (mencela) orang-orang yang tidak
memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya.”
Dan dalam ijtihad terdapat beberapa metode yang diantaranya adalah
ijma’, qiyas, istihsan, al-maslahah al-mursalah, al-urf, istihsab, syar’u man
qablana, mazhad shahabi, saddudzari’ah. Dan yang akan diterangkan didalam
makalah ini adalah ijma’ dan qiyas.
Tujuan
Selain untuk mengetahui salah satu tugas terstruktur pada mata kuliah
Ushul Fiqh, makalah ini juga di buat untuk:
1.
Mengetahui
metode Ijtihad khususnyan Ijma dan Qiyas
2.
Mengetahui
pengertian Ijma dan Qiyas
3.
Untuk
mengetahui cara mengistinbat hukum syara
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Ijma’
1.
Pengertian ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid dari kaum muslimin pada
suatu masa setelah wafatnya Rasulullah saw. atas suatu hukum syara dalam suatu
kasus tertentu. Adapun pengertian ijma’ dalam versi lain adalah ijma’ adalah
suatu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentatife setingkat
dibawah dalil-dalil nash (Al-qur’an dan Hadist). Ia merupakan dalil pertama
setelah Al-Qur’an dan hadist, yang dapat dijadikan peoman dalam menggali
hukum-hukum syara’. Mazhab Syi’ah berpendapat bahwa ijma’ yang dijadikan
argumentasi adalah ijma’ para imam dan mujtahid yang mengikuti mazhab syi’ah.
Sementara itu menurut para jumhur ulama, ijma’ yang dapat dijadikan argumentasi
dalam menetapkan hukum syara’ adlah ijma’ para ulama jumhur.
Menurut bahasa ijma’ dibagi kedalam kedua arti:
Yang pertama yaitu
bermaksud atau berniat. Sebagaimana firman Allah dalam surat yunus ayat 71:
ã@ø?$#ur
öNÍkön=tã
r't6tR
?yqçR
øÎ)
tA$s%
¾ÏmÏBöqs)Ï9
ÉQöqs)»t
bÎ)
tb%x.
uã9x.
/ä3øn=tæ
ÍG$s)¨B
ÎÏ.õs?ur
ÏM»t$t«Î/
«!$#
n?yèsù
«!$#
àMù=2uqs?
(#þqãèÏHødr'sù
öNä.{øBr&
öNä.uä!%x.uà°ur
¢OèO
w
ô`ä3t
öNä.áøBr&
ö/ä3øn=tæ
Zp£Jäî
¢OèO
(#þqàÒø%$#
¥n<Î)
wur
ÈbrãÏàZè?
ÇÐÊÈ
“dan bacakanIah kepada mereka berita penting
tentang Nuh di waktu Dia berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, jika terasa
berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat
Allah, Maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu
dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). kemudian janganlah
keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah
kamu memberi tangguh kepadaku.”
Maksudnya, semua pengikut Nabi Nuh dan teman-temannya harus
mengikuti jalan yang beliau tempuh. Dan hadist Rasulullah yang artinya: “Barang
siapa yang belum berniat untuk berpuasa sebelum fajar, maka puasanya tidak
sah.”
Yang kedua adalah
kesepakatan terhadap sesuatu. Suatu kaum dikatakan telah berijma’ apabila
mereka bersepakat terhadap sesuatu. Sebagaimana firman Allah dalam Al-qur’an
srat yusuf ayat 15, yang menerangkan keadaan saudara-saudara yusuf as.:
$£Jn=sù
(#qç7yds
¾ÏmÎ/
(#þqãèuHødr&ur
br&
çnqè=yèøgs
Îû
ÏMt6»uxî
Éb=ègø:$#
4
!$uZøym÷rr&ur
Ïmøs9Î)
Oßg¨Zt¤Îm6t^çFs9
öNÏdÌøBr'Î/
#x»yd
öNèdur
w
tbráãèô±o
ÇÊÎÈ
“Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat
memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu Dia
sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf: "Sesungguhnya kamu akan
menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat
lagi."
Yakni mereka sepakat terhadap rencana tersebut.
Adapun pebedaan antara kedua arti diatas adalah: yang pertama bisa
dilakukan oleh satu orang atau banyak, sedangkan arti yang kedua hanya oleh dua
orang atau lebih, karena tidak mungkin seseorang bersepakat dengan dirinya.
Penegrtian ijma’ menurut istilah, ulama ushul berbeda pendapat
dalam mendefinisikan ijma’ , diantaranya:
1.
Pengarang
kitab Fushulul Bada’I berpendapat bahwa ijma’ itu adalah kesepakatan ulama
mujtahid dari ijma’ umat Muhammad saw. dalam suatu masa setelah beliau wafat
terhadap hukum syara’.
2.
Pengarang
kitab Tahrir, Al-kamal bin hamam berpendapat bahwa ijm’ adalah kesepakatan
mujtahid suatu masa dari ijma’ Muhammad terhadap msalah syara’.
Dasar hukum ijma’ terdapat dalam surat An-nisa ayat 115:
`tBur
È,Ï%$t±ç
tAqߧ9$#
.`ÏB
Ï÷èt/
$tB
tû¨üt6s?
ã&s!
3yßgø9$#
ôìÎ6Ftur
uöxî
È@Î6y
tûüÏZÏB÷sßJø9$#
¾Ï&Îk!uqçR
$tB
4¯<uqs?
¾Ï&Î#óÁçRur
zN¨Yygy_
(
ôNuä!$yur
#·ÅÁtB
ÇÊÊÎÈ
“dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah
jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu
dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat
kembali.”
2. Syarat-syarat
Ijma’
1.
Yang
bersepakat adalah para mujtahid
Para ulama berselisih tentang istilah mujtahid itu diartikan
sebagai para ulama yang mempunyai kemampuan dalam menistinbathkan hukum dari
dalil-dalil syara’. Dalam sebuah kitab diterangkan bahwa mujrahid adalah
seseorang yang faqih. Selain itu, ada pula yang memandang bahwa mujtahid
sebagai ahlu ahli wal aqdi, dan istilah ini sesuai dengan pendapat Al-wadih dalam
kitab asbat bahwa mujtahid yang diterima fatwanya adalah ahlu Al-halli wal
aqdi.
Beberapa pendapat tersebut sebenarnya mempunyai keasmaan, bahwa
yang dimaksud dengan mujtahid adalah orang islam yang beligh, berakal,
mempunyai sifat terppuji dan mampu mengistinbathkan hukum dari sumbernya.
2.
Yang
bersepakat adalah jumhur mujtahid
Sebagian ulama yang lain berpandangan bahwa kesepakatan sebagian
besar nujtahid adalah hujjah,, meskipun tidak dikategorikan adanya kesepakatan
sebagian besar mereka menunjukan adnya kesepakatan terhadap dalil sahih yang
mereka jadikan landasan penetapan hukum. Dan jarang terjadi, kelompok kecil
yeng tidak sepakat, dapat mengalahkan kelompok besar.
3.
Para
mujtahid harus umat Nabi Muhammad
Kesepakatan yang dilakukan oleh para ulama selain umat Muhammad
tidak bisa dikatakan ijma’. Hal itu menunjukkan adanya umat nabi lain berijma’.
Adapun ijma’ umat nabi Muhammad tersebut telah dijamin bahwa mereka tidak
mungkin berijma’ untuk melakukan suatu kesalahan.
4.
Dilakukan
setelah wafatnya Nabi
Ijma’ itu terjadi ketika Nabi masih hidup, karena nabi senantiasa
menyepakati perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik, dan itu
dianggap syari’at.
5.
Kesepakatan
mereka harus berhubungan dengan syari’at
Maksudnya, kesepakatan mereka haruslah kesepakatan yang ada
kaitannya dengan syari’at, seperti tentang wajib, sunah, makruh, haram, dan
lain-lain.
3.
Macam-Macam Ijma’
Terdapat dua macam ijma’ sebagai berikut:
1.
Ijma’
sharih
Maksud ijma’ sharih adalah, semua mujtahid mengemukakan pendapat
mereka masing-masing, kemudian menyepakati salah satunya. Hal itu bisa terjadi
bila semua mujtahid berkumpul disuatu tempat, kemudian masing-masing
mengeluarkan pendapat terhadap masalah yang ingin diektahui ketetapan hukumnya.
Setelah itu mereka menyepakati salah satu dari berbagai pendapat yeng mereka
keluarkan tersebut. Pendapat Ijma’
sharih inilah yang disepakati oleh jumhur fuqaha sebagai hujjah. Imam syafi’i
memberikan intrepretasi terhadap ijma’ sharih “ijma’ sharih adalah, jika engkau
atau salah seorang ulama mengatakan, “hukum ini telah disepakati”, maka niscaya
para ulama yang engkau temui juga mengatakan seperti apa yang engkau katakan.
2.
Ijma’
Sukuti
Ijma’ sukuti adalah pendapat sebagian ulama tentang suatu masalah
yang diketahui oleh para mujtahid lainnya, tetapi mereka diam, tidak
menyepekati ataupun menolak pendapat tersebut secara jelas.
Mengenai ijma’ sukuti, para ulama terbagi dalam tiga pendapat
sebagai berikut:
a)
Tidak
termasuk ijma’ sukuti ini dalam ketegori ijma’. Pendapat ini dikemukakan oelh
imam Syafi’I dan mayoritas fuqaha.
b)
Memasuki
ijma’ sukuti dalam kategori ijma’. Hanya saja tingkat kekuatannya dibawah ijma’
sharih. Pendapat ini dikemukakan oleh sebagian fuqaha yang lain.
c)
Ijma’
sukuti dapat dijadikan argumentasi (hujjah) akan tetapi tidak termasuk dalam
kategori ijma’.
Argummentasi Ulama yang tidak menganggap ijma’ sukuti sebagai
hujjah syar’iyyah adalah:
a)
Orang
yang diam tidak dapat dipandang sebagai orang yang berpendapat. Dengan
demikian, seseorang mujtahid yang diam tidak dapat dipandang sebagai orang yang
mengikuti pendapat (hasil ijtihad) orang lain. Oleh karena itu, jika diam
dipandang sebagai ijmam’, maka berarti diam itu dapat dianggap sebagai
pembicaraan yang dinisbathkan pada seorang mujtahid yang belum tentu menerima
pendapat tersebut.
b)
Diam
tidak dipandang sebagai setuju. Karena diamnya seorang mujtahid mungkin ia
setuju; mungkin ia telah bertijtihad tapi belum memperoleh hasil yang mantap;
mungkin ia telah berijtihad dan memperoleh hasil, akan tetapi untuk
mengemukakan hasil ijtihadnya, ia memerlukan waktu yang tenang. Atau mungkin ia
telah mempunyai keputusan hukum, akan tetapi ia tidak mau mengemukakannya,
lantaran khawatir akan terjadi benturan dengan mujtahid lain yang berlainan
pendapatnya. Karena ia yakin, bahwa setiap mujtahid pasti benar selama masalah
yang menjadi objek ijtihad adalah bersifat rasional (nazhary). Atau mungkin ia
telah mantap dengan hukum yang berbeda dengan takut untuk mengemukakan
pendapatnya.
Dengan segala kemungkinan diatas, maka diam idak dapat dipandang
sebagai hujjah untuk menerima pendapat seorang mujtahid. Jika diam tidak dapat
dianggap sebagai hujjah dalam menerima pendapat seorang mujtahid yang telah
dipublikasikan dan popular, maka ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan hujjah.
4.
Latar Belakang Terjadinya Ijma’
Para fuqaha tidak bersepakat tentang terjadinya ijma’ kecuali ijma
para sahabat. Karena ijma’ para sahabat terhadap terhadap hukum-hukum syara’
telah ditetapkan secara mutawatir sehingga tidak ada seorangpun ynag
menolaknya, termasuk orang-orang yang menganggap tidak mngkin tejadinya ijma’.
Perlu diketahui bahwa ijma’ adalah hujjah yang bersifat pasti (qath’i). karena
itu, ijma’ harus diriwayatkan secara mutawatir agar sanadnya qhat’I,
sebagaimana hukum yang disepakati juga bersifat qhat’I. Imam Fahrur Razi dan
mayoritas fuqaha berkata:
Ijma’ yang diriwayatkan secara perseorangan (ahad) tidak dapat
dijadikan hujjah. Sebagai alasan, faktor yang menyebabkan ijma’ dapat dijadikan
hujjah adalah terletak pada sifatnya yang qhat’I, yaitu bahwa ijma’ tersebut
disandarkan pada para ulama yang membentuknya. Jika ijma’ diatas telah
kehilangan sifatnya yang qhat’I, lantaran diriwayatkan secara perseorangan
(ahad) sehingga sanadnya menjadi dzanni, maka ia telah kehilangan fungsinya.
Dengan demikian, hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’ tergantung pada nash
yang dijadikan landasan oleh ijma’ tersebut.
5.
Objek Ijma’
Objek ijma’ adalah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada
dasarnya dalam Al-qur’an dan Al-hadist, peristiwa atu kejadian yang berhubungan
dengan ibadat ghairu mahdhah (ibadah yang tidak langsung dengan Allah) bidang
mu’amalah, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan
urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam Al-qur’an dan Hadist.
6.
Kehujjahan
Ijma’
Ada beberapa permasalahan yang berkaitan dengan kehujjahan Ijma’,
misalnya, apakah Ijma itu Hujjah syar’i atau apakah Ijma itu merupakan landasan
Ushul Fiqh atau bukan?
Al-bardawi berpendapat bahwa orang-orang Hawa tidak menjadikan Ijma
itu sebagai Hujjah, bahkan dalam syiarahnya dia mengatakan bahwa Ijma itu bukan
Hujjah secara mutlak.
Menurut Al-amidi para ulama telah sepakat mengenai Ijma sebagai
Hujjah yang wajib di amalkan pendapat tersebut bertentangan dengan syiah
hawarij dan nizam dari golongan mutajilah.
Al-Hajib berkata bahwa Ijma itu Hujjah tanpa menanggapi pendapat
nizam, khawarij, dan syi’ah. Adapun para Ar-Rahawi pendapat bahwa Ijma itu pada
dasarnya adalah Hujjah. Sedangkan dalam kitab Qawa’idul ushul dan Maqidul Ushul
dikatakan bahwa Ijma itu HUjjah pada setiap masa, namun pendapat itu di tentang
oleh daud yang mengatakan bahwa Ijma itu hanya terjadi pada masa sahabat.
Hujjahan juga berkaitan erat dengan
jenis Ijma itu merupakan sendiri, yaitu sharih dan sukuti, agar lebih
jelas maka pendapat mereka tentang Ijma’ akan ditinjau berdasarkan pembagian
itu sendiri.
Kehujjahan Ijma’ Sharih
jumhur telah sepakat bahwa Ijma’ Sharih itu merupakan Hujjah secara
qat’I, wajib mengamalkannya dan haram menentangnya. Bila sudah terjai Ijam’
pada suatu permasalahan maka ia menjadi hukum qhat’I yang tidak boleh
ditentang, dan menjadi masalah yang tidak boleh diIjtihadi lagi.
Ibrahim Annizan sebagian dari golongan syi’ah dan khawarij berkata:
bahwa ijma’ itu tidak termasuk hujjah. Dalil-dalil yang dikeluarkan oleh
jumhur, jumhur mengeluarkan beberapa dalil untuk memepoerkuat oendapat mereka
tentang kehujjahan ijma’, yaitu QS. Anisa ayat 115:
`tBur È,Ï%$t±ç tAqߧ9$# .`ÏB Ï÷èt/ $tB tû¨üt6s? ã&s! 3yßgø9$# ôìÎ6Ftur uöxî È@Î6y tûüÏZÏB÷sßJø9$# ¾Ï&Îk!uqçR $tB 4¯<uqs? ¾Ï&Î#óÁçRur zN¨Yygy_ ( ôNuä!$yur #·ÅÁtB ÇÊÊÎÈ
“Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan
ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia
ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
Kehujjahan Ijma Sukuti
Ijma sukuti telah dipertentangkan kehujahannya di kalangan para
ulama sebagian mereka didak memandang sekuti sebagai hujjah, bahkan tidak
menyatakan sebagai ijma. Yang berpendapat demikian yaitu pengikut Syafi’I dalam
pendafatnya: diamnya sebagian mujtahid itu mungkin saja menyepakati sebagian
atau bis juga tidak sama sekali. Sebagian besar golongan hanafi dan hambali
menyatakan bahwa ijma’ sukutti merupakan hujjah yang qath’i seperti halnya ijma’
shari.
B.
Qiyas
1.
Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa artinya mengukur, membandingkan atau
mempersamakan. Sedang menurut istilah adalah membandingkan atau menyamakan
hukum suatu pekara dengan perkara yang lain berdasarkan illat. Yang dimaksud
dengan illat adalah sebab atau alasan yang mendasari ketetapan huku; misalnya
orang-orang islam dilarang meminum khamar disebutkan dalam surat al-baqarah
ayat 219:
y7tRqè=t«ó¡o
ÇÆtã
ÌôJyø9$#
ÎÅ£÷yJø9$#ur
(
ö@è%
!$yJÎgÏù
ÖNøOÎ)
×Î72
ßìÏÿ»oYtBur
Ĩ$¨Z=Ï9
!$yJßgßJøOÎ)ur
çt9ò2r&
`ÏB
$yJÎgÏèøÿ¯R
3
“mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan
judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa
manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya."
Yang disebut cairan khamar adalah cairan buah kurma atau anggur
yang disimpan lama sehingga menjadi semacam alcohol yang enak rasanya namun
memabukkan. Karena mengandung zat yang memabukkan itulah maka khamar dinyatakan
haram. Namub zaman sekarang, beraneka minuman atau bahkan adiktif lainnya
semakin banyak jenisnya dan memiliki efek sama dengan khamar yaitu memabukkan
dan jenis tersebut tidak disebutkan dalam Al-qur’an, karena itulah Qiyas
menyatakan “segala jenis minuman atau zat yang memabukkan” dan mempunyai illat
yang sama dengan khamar, maka jenis tersebut menjadi haram hukumnya.
Ulama Ushul fiqh memberikan definisi yang berbeda-beda bergantung
pada pandangan mereka terhadap kedudukan qiyas dan istinbath hukum. Dalam hal
ini, mereka terbagi dalam dua golongan berikut:
Golongan pertama,
menyatakan bahwa qiyas merupakan ciptaan manusia, yakni pandangan mujtahid.
Sebaliknya, menurut golongan kedua, qiyas merupakan ciptaan syar’I,
yakni merupakan hujjat illahiyah yang dibuat syar’I sebagai alat untuk mengetahui
suatu hukum.
Adapun pengertian qiyan menurut versi lain qiyas merupakan dalil
yang paling subur dalam memcahkan masalah-masalah baru yang belum ditegaskan
dalam nash, atau boleh pembahasan mujtahid terlebih dahulu.
Dengan cara qiyas itu berarti para mujtahid telah mengembalikan
keentuan hukum sesuatu kepada sumbernya al-qur’an dan hadist. Sebab hukum
islam, kadang tersurat jelas dalam nash al-qur’an atau hadist, kadng juga
bersifat implicit-analogik terkandung dalam nash peristiwa pasti ada kepastian
hukum dan ummat islam wajib melaksankannya. Akan tetapi jika tidak ada
ketentuan hukumnya yang pasti, maka harus dicari pendekatan yang sah, yaitu
dengan ijtihad. Dan ijtihad itu adalah qiyas. Pendekatan rasional sesuai dengan
prinsip-prinsip syllogism, yakni upaya mencari sesuatu kesimpulan dari dua
macam premis itu harus berpegang pada prinsip analogi tersebut, bahwa persamaan
illat akan melahirkan persamaan hukum.
Kita menjumpai bahwa Al-qur’an juga mempergunakan sifat dan
perbuatan. Demikian juga Al-qur’an menjelaskan perbedaan hukum karena tidak
adanya persamaan sifat dan perbuatan. Untuk yang disebut pertama, contohnya
dalam firman Allah surat Muhammad ayat 10:
óOn=sùr&
(#rçÅ¡o
Îû
ÇÚöF{$#
(#rãÝàYusù
y#øx.
tb%x.
èpt7É)»tã
tûïÏ%©!$#
`ÏB
óOÎgÏ=ö7s%
4
t¨By
ª!$#
öNÍkön=tã
(
z`ÌÏÿ»s3ù=Ï9ur
$ygè=»sVøBr&
ÇÊÉÈ
“Maka Apakah mereka tidak Mengadakan
perjalanan di muka bumi sehingga mereka dapat memperhatikan bagaimana kesudahan
orang-orang sebelum mereka; Allah telah menimpakan kebinasaan atas mereka dan
orang-orang kafir akan menerima (akibat-akibat) seperti itu.”
Untuk yang disebut kedua (prinsip analogi beda sifat, beda hukum),
adalah firman Allah dalam surat Al-jatsiyah ayat 21:
÷Pr&
|=Å¡ym
tûïÏ%©!$#
(#qãmutIô_$#
ÏN$t«Íh¡¡9$#
br&
óOßgn=yèøgªU
tûïÏ%©!$%x.
(#qãZtB#uä
(#qè=ÏJtãur
ÏM»ysÎ=»¢Á9$#
[ä!#uqy
ôMèd$uøt¤C
öNåkèE$yJtBur
4
uä!$y
$tB
cqßJä3øts
ÇËÊÈ
“Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu
menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman
dan mengerjakan amal saleh, Yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka?
Amat buruklah apa yang mereka sangka itu.”
Dan firman Allah surat Shaad ayat 28:
ôQr&
ã@yèøgwU
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
(#qè=ÏJtãur
ÏM»ysÎ=»¢Á9$#
tûïÏÅ¡øÿßJø9$%x.
Îû
ÇÚöF{$#
ôQr&
ã@yèøgwU
tûüÉ)GßJø9$#
Í$¤fàÿø9$%x.
“Patutkah Kami menganggap orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal yang saleh sama dengan orang-orang yang berbuat
kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang- orang yang
bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat ma'siat?”
2.
Rukun qiyas
1.
Ashl
(pokok), yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nashnya yang dijadikan tempat
mengqiyaskan. Ini berdasarkan pengertian ashl menurut fuqaha. Sedangkan ashl
menurut hukum teolog adalah suatu nash syara’ yang menunjukkan ketentuan hukum,
dengan kata lain, suatu nash yang menjadi dasar hukum. Ashl itu disebut juga
maqis ‘qlaih (yang dijadikan tempat mengqiyas kan), mahmul alaih (tempat
membandingkan), atau musyabbah bih (tempat menyerupakan).
2.
Far’u
(cabang) yaitu peristiwa yang tidak ada mash nya. Far’u itulah dikehendaki
untuk disamakan hukumnya dengan ashl. Ia disebut juga maqis (yang dianalogikan)
dan musyabbah (yang diserupakan).
3.
Hukum
ashl yaitu hukum syara’ yang ditetapkan oleh suatu nash;
4.
Illat,
yaitu suatu sifat yang terdapat pada ashl. Dengan adanya pula, terdapat cabang,
sehingga hukum cabang itu disamakanlah dengan hukum ashl.
3.
Qiyas sebagai sandaran Ijma’
Para ulama berbeda pendapat tentang qiyas apabila dijadikan
sandaran ijma’. Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa qiyas itu tidak sah
dijadikan dasar ijma’. Dengan argument bahwa ijma itu qhat’I sedangkan dalil
qiyas adalah Dzanni. Menurut kaidah, yang qhat’I itu tidak sah didasarkan pada
yang dzanni.
Para ulama yang mengatakan bahwa qiyas sah dijadikan sandaran
ijma’, berargumen bahwa hal itu telah sesuai dengan pendapat sebagian besar
ulama. Juga dikarenakan qiyas itu termasuk salah satu dalil syara’, maka sah
dijadikan landasan ijma’ sebagaimana dalail-dalail syara’ lainnya.
Para sahabat setelah wafatnya nabi besar Muhammad berbeda pendapat
tentang siapa yang akan dijadikan penggantinya sebagai khalifah. Kemudian
mereka memilih Abu Bakar Ash-siddiq, karena ketika beliau sakit keras,
Rasulullah senantiasa mewakilkan Abu bakar untuk menjadi imam shalat.
Penunjukkan Abu Bakar sebagai imam di-qiyas-kan pada penunjukkan
beliau sebagai khalifah dan hal itu disepakati oleh semua sahabat. Dengan
demikian, jelaslah bahwa qiyas merupakan landasan hukum bagi ijma’. Adapun
mereka yang menyatakan ijma’ itu adalah qhat’I, sedangkan qiyas adalah dalil
dzanni tidak bisa diterima, karena khabar ahad juga termasuk zhanni, tetapi
para ulama menaytakan sah dijadikan sandaran ijma’. Qiyas yang tadinya berupa
dalil dzanni, setelahnya ada ijma’ maka akan jadi qhat’I karena berubah dari
pendapat individu menjadi pendapat jama’ah.
4.
Kehujjahan Qiyas
Tidak perlu diragukan lagi bahwa jumhur adalah aliran yang tepat
dan kuat, karena argumentasinya yang didasarkan pada prinsip befikir manthiq
dan yang logis, dismping ayat Al-qur’an dan petunjuk Rasulullah. Diantara ayat
Al-qur’an yang dijadikan dalil adalah firman Allah surat annisan ayat 59:
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#þqãYtB#uä
(#qãèÏÛr&
©!$#
(#qãèÏÛr&ur
tAqߧ9$#
Í<'ré&ur
ÍöDF{$#
óOä3ZÏB
(
bÎ*sù
÷Läêôãt»uZs?
Îû
&äóÓx«
çnrãsù
n<Î)
«!$#
ÉAqߧ9$#ur
bÎ)
÷LäêYä.
tbqãZÏB÷sè?
«!$$Î/
ÏQöquø9$#ur
ÌÅzFy$#
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.”
Ayat tadi menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan
“kembali kepada Allah dan Rasul: (dalam masalah khilafiyah). Tiada lain adalah
perintah supaya menyelidiki tanda-tanda kecenderunagn; apa sesungguhnya yang
dikehendaki Allah dan RasulNya. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari ‘illat
hukum, yang dunamakan qiyas.
Sesungguhnya Allah mengisyaratkan adanya ‘illat hukum, bukan dalam
menetapkan beberpaa hukum telah disebutkan ‘illatnya serta tujuannya secara
tegas. Sebagimana missal firman Allah dalam syrat al-baqarah ayat 179:
öNä3s9ur
Îû
ÄÉ$|ÁÉ)ø9$#
×o4quym
Í<'ré'¯»t
É=»t6ø9F{$#
öNà6¯=yès9
tbqà)Gs?
ÇÊÐÒÈ
“dan dalam qishaash itu ada (jaminan
kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu
bertakwa.”
contoh lain mislanya kasus Rasulullah mengawinizainab, bekas isteri
zaid bin Harisah anak angkatnya. Allah memberikan alasan hukum diperbulehkannya
kawin dengan bekas isteri anak angkat dalam firmanNya surat Al-ahzab ayat 37:
ös5Ï9 w tbqä3t n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# Óltym þÎû Ælºurør& öNÎgͬ!$uÏã÷r& #sÎ) (#öqÒs% £`åk÷]ÏB #\sÛur 4
“supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin
untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak
angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya(menceraikannya).”
Allah juga memberikan alasan hukum pembagian harta rampasan perang
kepada orang fakir, orang miskin, anak-anak yatim, kaum kerabat, dan
orang-orang yang sedang dalam perjalanan, supaya harta itu tidak hanya beredar
diantara orang-orag kaya saja, firman Allah dalam surat Al-hasyr ayat 7:
!$¨B uä!$sùr& ª!$# 4n?tã ¾Ï&Î!qßu ô`ÏB È@÷dr& 3tà)ø9$# ¬Tsù ÉAqߧ=Ï9ur Ï%Î!ur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ös1 w tbqä3t P's!rß tû÷üt/ Ïä!$uÏYøîF{$# öNä3ZÏB 4
“apa saja harta rampasan (fai-i) yang
diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk
kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu
jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu”
5.
Kehujjahan Qiyas dalam Hukum dan Perbedaan Metode Pengambikan hukum
Dalam beberapa keadaa terjadi dua kubu dalam menentukan hukum, yang
berbeda dalam metode untuk mencapai ketetapan hkum tersebut. Orang-orang yang
menganut adanya qiyas menetapkan hukum dengan qiyas. Sedangkan hadist mereka
yang tidak mengetahui adanya qiyas ternyata menggunakan ketetapan hukum yang
sama, tetapi dengan metode yang berbeda. Berikut ini akan diterangkan beberapa
permasalahan untuk memperjelas hal tersebut.
Ibnu Hamz berkata “mereka telah berhujjah dengan firman Allah stw.
Dalam surat An-nur ayat 4:
tûïÏ%©!$#ur
tbqãBöt
ÏM»oY|ÁósßJø9$#
§NèO
óOs9
(#qè?ù't
Ïpyèt/ör'Î/
uä!#ypkà
óOèdrßÎ=ô_$$sù
tûüÏZ»uKrO
Zot$ù#y_
wur
(#qè=t7ø)s?
öNçlm;
¸oy»pky
#Yt/r&
4
y7Í´¯»s9'ré&ur
ãNèd
tbqà)Å¡»xÿø9$#
ÇÍÈ
“dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita
yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi,
Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah
kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang
yang fasik.”
Nash tersebut menerangkan tentang hukuman dera bagi mereka yang
menuduh zina kepada wanita-wanita yang sudah berkeluarga. Dan hukuman tersebut
diberikan juga kepada orang yang menuduh laki-laki berzina. Metode seperti itu
adalah qiyas.
Abu Muhammad berkata, “kami mewajibkan untuk mendera penuduh
laki-laki berzina sebagaimana disebutkan dalam Al-qur’an dan sunah. Jika
terdapat nash yang jelas, maka kami, tidak menetapkan melalui metode qiyas.
Seandainya kami menggunakan metode qiyas-pun maka hasilnya tidak sama dengan
mereka.
Firman Allah swt. dalam surat An-nur ayat 4, tersebut adalah umum.
Tidak boleh di takhsih kecuali harus dengan nash atau ijma’. Mungkin maksud
Al-qur’an adalah wanita-wanita yang sudah menikah atau laki-laki yang sudah
menikah. Hal seperti itu tidaklah termasuk munkar dalam bahasa dimana Al-qur’an
diturunkan, Allah berfirman dalam surat An-naba ayat 14:
$uZø9tRr&ur
z`ÏB
ÏNºuÅÇ÷èßJø9$#
[ä!$tB
%[`$¯gwR
ÇÊÍÈ
“dan Kami turunkan dari awan air yang banyak
tercurah.”
Yang dimaksud mu’shirat dalam ayat diatas adalah ashhab.
Yang dimaksuid Al-muhsonat dalam surat an-nur tersebut adalah furuj
itu lebih umum dari pada wanita. Dan dimaklumi bahwa furuj adalah alat
penghubung antara seorang laki-laki dengan perempuan, dengan menjelaskan firman
Allah dalam surat Al-mu’minun ayat 5-6:
tûïÏ%©!$#ur
öNèd
öNÎgÅ_rãàÿÏ9
tbqÝàÏÿ»ym
ÇÎÈ wÎ)
#n?tã
öNÎgÅ_ºurør&
÷rr&
$tB
ôMs3n=tB
öNåkß]»yJ÷r&
öNåk¨XÎ*sù
çöxî
úüÏBqè=tB
ÇÏÈ
“dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri
mereka atau budak yang mereka miliki[994]; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal
ini tiada terceIa.”
Pada ayat lain yaitu surat An-nur ayat 31:
@è%ur
ÏM»uZÏB÷sßJù=Ïj9
z`ôÒàÒøót
ô`ÏB
£`ÏdÌ»|Áö/r&
z`ôàxÿøtsur
£`ßgy_rãèù
wur
úïÏö7ã
£`ßgtFt^Î
wÎ)
$tB
tygsß
$yg÷YÏB
“Katakanlah kepada wanita yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya.”
Dalam ayat diatas sah lah bahwa ayat tersebut sebagai perintah
untuk mendera laki-laki yang mukhsan dengan dalil-dalil Al-qur’an.
Dengan demikian, maka dapatlah dilihat bahwa hukuman mendera untuk
orang yang menuduh berzina kepada yang sudah menikah adalah melalui dua metode
yang berbeda.
6.
Dasar Hukum Qiyas
Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut mazhab yang empat
sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam
menetapkan hukum dalam ajaran islam. Hanya mereka berbeda pendapat tentang
kadar penggunaan qiyas atau macam-macam qiyas yang boleh digunakan dalam
mengistinbathkan hukm, ada yang memebatasinya dan ada pula yang tidak
emebatasinya, namun semua mereka itu barulah melakukan qiyas apabila ada
kejadian atau peristiwa tetapi tidak diperoleh satu nash pun yang hanya dapat
dijadikan dasar.
Hanya sebagian kecil para ulama yang tidak membolehkan pemakaian
qiyas sebagai dasar hujjah, diantaranya ialah salah satu cabang mazhad zahiri
dan mazhad syi’ah.
Mengenai dasar hukum qiyas bagi yang memperolehkannya sebagai dasar
hujjah, ialah Al-qur’an dan al-hadist, ialah al-qur’an dan al-dasiht dan
perbuatan sahabat. Allah berfirman dalam surat an-Nisa ayat 59:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu
berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.”
Dari ayat diatas dapat diambil pengertian bahwa Allah memerintahkan
kaum muslimin agar menetapkan segala sesuatu berdasarkan Al-qur’an dan
Al-hadist. Jika tidak ada dalam Al-qur’an dan al_hadit hendaklah mengikuti
pendapat ulil amri. Jika tidak ada pendapat ulil amri boleh menepatkan hukum
dengan mengembalikannya kepada Al-qur’an dan al-hadist, yaitu dengan
menghubungkan atau membandingkannya dengan yang terdapat dalam al-qur’an dan
Al-hadist. Dalam hal ini banyak cara yang dapat dilakukan diantaranya dengan
melakukan qiyas.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam mengistinbath suatu hukum haruslah dilandasi
dengan sumber hukum itu sendiri, adapun dalam islam sumber hukum yang tertinggi
yaitu Al-Qur’an dan yang kedua yaitu hadits, karena dalam Al-qur’an banyak
terdapat kata-kata yang harus diperjelas dan diperkuat oleh hadits, dan apabila
mengistinbath suatu hukum dan tidak menemukan dari dua sumber utama tadi maka didakan
suatu metode pengambilan hukum melalui ijtihad, dan dalam jalan ijtihad itru
sendiri banyak macamnya diantaranya: ijma, qiyas, istihsan, istihsab, dan yang
lainnya.
Adapun
dalam pengambilan suatu hukum itu juga ada syaratnya, tidak sekedar menentukan
hukum, yaitu:
Syarat untuk melaksanakan ijma:
1.
Yang
bersepakat adalah para mujtahid.
2.
Yang
bersepakat adalah seluruh mujtahid.
3.
Para
mujtahid harus umat Muhammad SAW.
4.
Dilakukan
setelah wapatnya nabi.
5.
Kesepakatan
mereka harus berhubungan dengan syariat.
Dalam mengqiyas suatu hukum maka harus ada suatu
peristiwa yang sudah ada nashnya yang dijadikan tempat mengqiyaskan, ada
peristiwa yang belum ada nashnya, ada hukum syara yang ada nashna, dan harus
ada illat yaitu sifat yang terdapat pada ashal.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar,Sahrul,Ilmu Fiqh dan Ushul
Fiqh, Bandung,Ghalia Persasa,2010.
Pulungan,Khusnul Khoir, Bandung,Sabili,2007
Syafe,I,Rachmat,Ilmu Ushul Fiqh,
Bandung,Pustaka Setia, ,2010, cet. IV.
Zahra,Muhammad abu,Ushul Fiqh,Jakarta,Pustaka
Firdaus,2011.
Komentar
Posting Komentar