nasakh mansukh

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan sumber pertama dan utama ajaran Islam yang bersifat abadi dan universal. Abadi berarti terus berlaku sampai akhir zaman. Sedangkan universal berarti syariatnya berlaku untuk seluruh dunia tanpa memandang perbedaan. Yang jadi permasalahannya adalah abadi dan keuniversalan al-Qur’an itu sendiri sehingga menjadi perbincangan para ulama karena adanya perbedaan masalah yang mereka tekankan. Tujuan diturunkannya Al-Qur’an oleh Allah kepada para rasul-Nya ialah untuk memperbaiki umat di bidang akidah, ibadah dan mu’amalah. Akidah semua ajaran Al-Qur’an itu satu dan tidak mengalami perubahan, karena ditegakkan atas dasar tauhid, maka dakwah atau seruan para rasul kepada akidah yang satu itu pun semuanya sama. Allah berfirman:
!$tBur $uZù=yör& `ÏB šÎ=ö6s% `ÏB @Aqߧ žwÎ) ûÓÇrqçR Ïmøs9Î) ¼çm¯Rr& Iw tm»s9Î) HwÎ) O$tRr& Èbrßç7ôã$$sù ÇËÎÈ  
yang artinya “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.” (Al-Anbiya: 25)
Dalam memahami ayat dalam al-Qur’an pastilah dalam setiap ayat itu kata-kata nya mudah dipahami, akan tetapi banyak ayat yang sulit dipahami oleh karena itu perlu ada penafsiran baik oleh ayat lain ataupun oleh hadits nabi, yang disebut dengan nasakh mansukh. Dengan demikian deapat dipahami bahwa nasakh mansukh terjadi karena al-Qura’an diturunkan secara berangsur-angsursesuai dengan peristiwa yang mengiringinya.

B.     Tujuan
Dalam memahami sebuah ayat tidak lah mudah karena ayat al-qur’an ada yang mudah di pahami dan ada pula yang sulit di pahami, dan untuk memahaminya yaitu dengan diadakannya nasakh, dalam suatu ayat yang sulit di pahami itu bisa ditapsirkan dengan ayat lainya atau dengan hadits, Oleh karena itu, untuk mengetahui al-Qur’an dengan baik harus mengetahui ilmu nasakh mansukh dalam al-Qur’an, untuk itu supaya lebih jelas penulis mengangkat judul makalah mengenai nasakh  mansukh.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Nasakh
Menurut etimologi ada empat makna nasakh yaitu:
1.      Izalah yang artinya menghilangkan, seperti dalam Q.S. al-Hajj:52.
!$tBur $uZù=yör& `ÏB y7Î=ö6s% `ÏB 5Aqߧ Ÿwur @cÓÉ<tR HwÎ) #sŒÎ) #Ó©_yJs? s+ø9r& ß`»sÜø¤±9$# þÎû ¾ÏmÏG¨ÏZøBé& ã|¡Yusù ª!$# $tB Å+ù=ムß`»sÜø¤±9$# ¢OèO ãNÅ6øtä ª!$# ¾ÏmÏG»tƒ#uä 3 ª!$#ur íOŠÎ=tæ ÒOŠÅ3ym ÇÎËÈ  
Yang artinya “dan kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Rasul pun, dan tidak seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai suatu keinginan, setan pun memasukan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang di masukkan oleh setan itu, dan Allah menguatkkan ayat-ayatnya, dan Allah  maha mengetahui lagi maha bijaksana”
2.      Tabdil yang artinya penggantian. Seperti dalam Q.S. an-Nahal:101.
#sŒÎ)ur !$oYø9£t/ Zptƒ#uä šc%x6¨B 7ptƒ#uä   ª!$#ur ÞOn=ôãr& $yJÎ/ ãAÍit\ム(#þqä9$s% !$yJ¯RÎ) |MRr& ¤ŽtIøÿãB 4 ö@t/ óOèdçŽsYø.r& Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÊÉÊÈ  
Yang artinya: “dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang ditirunkan-Nya, mereka berkata, sesungguhnya kamu adalah orang yan g mengada-0ngadakan saja. Bahkan kebanyakan mereka tidak mengetahui”.
3.      Tahwil yang artinya memalingkan atau mengalihkan. Seperti tanasukh al-mawarits, artinya mengalihkan pusaka dari seseorang ke orang lain.
4.      Naql artinya memindahkan dari satu tempat ketempat lainnya,  seperti nasakhtu al kitaaba, yakni mengutuip atau memindahkan isi kitab tersebut berikut lafadz dan tulisannya.[1]
Menurut terminology nasakh yaitu “mengangkat (menghapuskan) hukum Syara’ dengan dalil hukum syara’ yang lain.” Di sebutkan kata “hukum” di sini, menunjukkan bahwa prinsip “segala sesuatu hukum asalnya boleh” tidak termasuk yang di nasakh. Kata-kata dengan dalil hukum syara’” mengecualikan pengangkatan (penghapusan) hukum yang disebabkan kematian atau gila, atau penghapusan dengan ijma’ atau qias.
Kata nasikh (yang menghapus) maksudnya adalah Allah (yang menghapus hukum itu) seperti Firman-Nya: “Dan tidaklah kami menghapus suatu ayat...” (Al-Baqarah: 106).
Kata itu juga digunakan untuk ayat atau sesuatu yang dengannya naskh dapat diketahui. Maka dikatakan: ”Hadzihi al-ayat nasikhhah li ayat hadza” (ayat ini menghapus ayat itu); dan digunakan pula untuk hukum menghapuskan hukum yang lain.
Mansukh adalah hukum yang diangkat atau yang di hapuskan. Maka ayat mawarits (warisan) atau hukum yang terkandung di dalamnya, misalnya adalah menghapuskan (nasikh) hukum wasiat kepada kedua orang tua atau kerabat.[2] Sementara meurut Quraish Shihab menyatakan bahwa antara para ulama mutaqadimin dan muta’akhirin  tidak sepakat dalam memberikan pengertian nasak secara terminology. Ualama mutaqadinim bahkan memperluas arti naskh hingga mencakup:
1.      Pembatalan hukum yang ditetapkan oleh hukum yang ditetapkan kemudian.
2.      Pengecualian hukum yang bersipat umum oleh hukum yang spesifik yang dating kemudian.
3.      Penjelasan susulan terhadap hukum yang bersipat ambigius.
4.      Penetapan syarat bagi hukum  yang dating kemudian guna membatalkan atau merebut atau menyatakan berakhirnya masa berlakunya hukum yang terdahulu.[3]

B.     Ruang Lingkup Nasakh
Nasakh hanya terjadi pada perintah atau larangan, baik yang diungkapkan dengan tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita (khobar) yang bermakna amar (perintah) atau nahyi (larangan), jika hal tersebut tersebut tidak berhubungan dengan persoalan akidah, yang berpokus pada zat Allah, sifat-sifat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, dan hari kemudian (hari kiamat), serta tidak berkaitan pula dengan etika dengan akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan mua’malah, hal ini semua syari’at Illahi tidak lepas dari pokok-pokok tersebut. Sedangkan dalam maslah ushul semua syari’at adalah sama. Allah berfirman:
* tíuŽŸ° Nä3s9 z`ÏiB ÈûïÏe$!$# $tB 4Óœ»ur ¾ÏmÎ/ %[nqçR üÏ%©!$#ur !$uZøŠym÷rr& y7øs9Î) $tBur $uZøŠ¢¹ur ÿ¾ÏmÎ/ tLìÏdºtö/Î) 4ÓyqãBur #Ó|¤ŠÏãur ( ÷br& (#qãKŠÏ%r& tûïÏe$!$# Ÿwur (#qè%§xÿtGs? ÏmŠÏù  
Yang artinya, “Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.” (Q.S. asy-Syura: 13)
$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)­Gs? ÇÊÑÌÈ  
Yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (Q.S.al-baqarah 183). Dan ayat-ayat yang lainnya.
Nasakh tidak terjadi dalam berita, khobar, yang jelas-jelas tidak bermakna talab (tuntutan, perintah atau larangan) seperti janji dan ancaman.[4]

C.    Pendapat-pendapat Tentang adanya  Nasakh
Sebenarnya terdapat beberapa perbedaan pendapat tentang naskh ayat Al-Quran. Sebagian dari pendapat itu ada betul-betul menolak secara total adanya nasakh, sebagian lagi justru sebaliknya, nyaris semua ayat Quran bisa di-nasakh oleh mereka, lalu ada pendapat yang pertengahan, di mama konsep nasakh itu diterima, namun tidak bisa sembarangan dalam menetapkannya.
1. Para penentang nasakh
Yang paling gigih dalam menentang adanya nasakh adalah Kaum Yahudi. Mereka berpendapat bahwa adanya naskh dalam syariat Islam menyebabkan munculnya kesimpulan,`Bahwa sesuatu itu ada setelah ketiadaannya`. Yang menurut mereka berarti naskh ada karena kurangnya kebijaksanaan (dan hal ini mustahil bagi Allah), atau naskh ada karena adanya kebijaksanaan yang mucul atau tampak setelah ketiadaannya di waktu sebelumnya dan hal ini akan memberikan kesimpulan bahwa Allah itu tadinya tidak tahu (dan hal ini pun mustahil bagi Allah).
Dan jawaban bagi mereka yang berpendapat seperti ini adalah bahwa apa yang mereka katakan itu tidaklah benar adanya, karena Allah itu Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk para hamba-Nya, dan semua itu terjadi juga untuk mashlahat manusia itu sendiri.
Adapun sanggahan bagi pendapat mereka yang sebenarnya datang dari mereka sendiri adalah bahwa mereka pun meyakini bahwa sebagian syari’at Musa pun datang menghapuskan syari’at nabi-nabi sebelumnya. Dan begitu juga telah ada naskh dalam kitab Taurat mereka, sebagai contoh, telah diharamkan bagi mereka beberapa jenis hewan yang sebelumnya merupakan makanan yang halal bagi mereka.
Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang Israil haramkan untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan, Katakanlah (jika kamu mengatakan ada makanan yang diharamkan sebelum diturunkannya taurat) maka bawalah Taurat itu, lalu bacalah ia jika kamu adalah orang-orang yang benar. (QS Ali Imran: 93)
Dan di dalam Taurat pun telah disebutkan bahwa Nabi Adam a.s. telah menikahkan anak laki-lakinya dengan anak perempuannya sendiri, dan hal ini telah diharamkan dalam syari`at Nabi Musa a.s, dan masih banyak lagi hal lain sebagai bukti lemahnya dalil yang mereka ajukan.
2. Golongan orang-orang yang telalu berlebihan dalam membolehkan nasakh
Mereka adalah golongan rawafidhah, di mana mereka terlalu berlebihan dalam membolehkan sekaligus menetapkan adanya naskh dalam syari’at Islam.
Mereka 180 derajat berseberangan pendapat dengan kaum Yahudi. Mereka mengambil dalil dari perkataan-perkataan yang dinisbatkan pada Ali r.a. yang sebenarnya kata-kata itu tidak pernah datang dari beliau.
Allah menghapuskan apa yang dia kehendaki dan menetapkan (apa yang dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh). (QS Ar-Ra`d: 39)
3. Pendapat Pertengahan
Yaitu pendapat sebagian besar ulama atau diistilahkan dengan jumhur ulama. Mereka mengatakan bahwa naskh itu memungkinkan terjadinya secara akal dan juga dalam syari`at Islam. Dalil mereka adalah:
a.        Bahwa semua hal yang dilakukan oleh Allah tidak dihalangi oleh tujuan-tujuan tertentu, tapi Allah Maha Kuasa untuk melakukan apa saja yang Dia kehendaki, bahkan dalam satu waktu sekalipun, dan Dialah Yang Maha Tahu mana yang terbaik untuk hamba-Nya.
b.      Nash-nash dalam Al-Qur’an dan hadits telah menunjukkan kemungkinan tejadinya naskh. Di antaranya adalah:
Dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata`Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja`. bahkan kebanyakan mereka tiada Mengetahui. (QS An-Nahl: 101)
Ayat mana saja yang kami nasakh-kan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (QS Al-Baqarah: 106)
Selain itu ada Abu Muslim al-Ashfahani berpendapat bahwa terjadinya naskh itu dibenarkan oleh akal, namun tidak oleh syari`at. dDlilnya dalam pendapatnya ini adalah firman Allah berikut:
Yang tidak datang kepadanya (Al-Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. (QS. Al-Fushilat:42)[5]
     Dalam masalah nasakh, manusia terbagi atas empat golongan:
1.      Orang Yahudi. Mereka tidak mengakui adanya nasakh, karena menurut mereka, nasakh mengandung konsep al-bada’, yakni muncul setelah tersembunyi. Maksud mereka adalah, nasakh itu adakalanya tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi Allah. Dan adakalanya karena sesuatu hikmah yang sebelumnya tidak nampak. Ini berarti suatu kejelasan yang didahului oleh ketidakjelasan. Dan ini pun mustahil bagi-Nya.
Cara berdalih mereka ini tidak dapat dibenarkan, sebab masing-masing hikmah nasakh dan mansukh telah diketahui oleh Allah lebih dahulu. Jadi pengetahuan-Nya tentang hikmah tersebut bukan hal yang baru muncul. Ia membawa hamba-hamba-Nya dari satu hukum ke hukum yang lain adalah karena sesuatu maslahat yang telah diketahui-Nya jauh sebelum itu, sesuai dengan hikmah dan kekuasaan-Nya yang absolut terhadap segala milik-Nya.
2.       Kalangan Syi’ah. Mereka sangat berlebihan dalam menetapkan nasakh, bahkan memperluas lingkupnya. Mereka memandang konsep al-ba’da sebagai suatu hal yang mungkin terjadi bagi Allah. Dengan demikian, maka posisi mereka kontradiktif dengan orang Yahudi. Untuk mendukung pendapatnya itu mereka mengajukan argumentasi dengan ucapan-ucapan yang mereka nisbahkan kepada Ali ra secara dusta dan palsu. Juga dengan firman Allah: “Allah menghapuskan apa yang ia kehendaki dan menetapkan (apa yang Ia kehendaki).” (Ar-Ra’d: 39), Maknanya, Allah senantiasa bisa untuk menghapuskan dan menetapkan.
Paham demikian merupakan kesesatan yang dalam dan penyelewengan terhadap Al-Qur’an. Sebab makna ayat adalah: Allah menghapuskan sesuatu yang di pandang perlu dihapuskan dan menetapkan penggantinya jika penetapannya mengandung maslahat.
3.      Abu Muslim Al-Asfahani. Menurutnya, secara logika nasakh dapat saja terjadi, tetapi menurut syara’, tidak. Dikatakan pula bahwa ia menolak sepenuhnya terjadinya nasakh dalam Al-Qur’an berdasarkan firman Allah yang artinya: “Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari sisi Tuhan Yang Mahabijaksana lagi Maha Terpuji.” (Fushshilat: 42). Hukum-hukum Al-Qur’an menurutnya, tidak akan dibatalkan untuk selamanya. Dan ia menjadikan ayat-ayat tentang nasakh, sebagai ayat-ayat tentang takhshish (pengkhususan).
Pendapat Abu Muslim ini tidak dapat diterima, karena makna ayat tersebut ialah, bahwa Al-Qur’an tidak didahului oleh kitab-kitab yang membatalkannya dan tidak datang pula sesudahnya sesuatu yang membatalkannya.
4.      Jumhur ulama. Mereka berpendapat, nasakh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara’, berdasarkan dalil-dalil:
a.       Perbuatan-perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Ia boleh saja memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang lain. Karena Dia-lah yang lebih mengetahui kepentingan hamba-hamba-Nya.
b.      Nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah menunjukan kebolehan nasakh dan terjadinya, antara lain:

1.      Firman Allah yang artinya:
“Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang lain.....” (An-Nahl: 101)
“Apa saja ayat yang Kami nasakhkan, atau Kami lupakannya, Kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya.” (Al-Baqarah: 106)
2.      Dalam sebuah hadits shahih, dari Ibnu Abbas, Umar ra berkata, “Yang paling paham dan paling menguasai Al-Qur’an di antara kami adalah Ubay. Namun demikian kami pun meninggalkan sebagian perkataannya, karena ia mengatakan: ‘Aku tidak akan meninggalkan sedikit pun segala apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah Saw, padahal Allah telah berfirman: “Apa saja ayat yang Kami nasakhkan, atau Kami melupakannya....” (Al-Baqarah: 106)
‘Abd al-Wahhab al-Khallaf berpendapat bahwa memang terdapat nasakh sebelum Rasul Allah wafat. Namun setelah wafat beliau tidak ada lagi nasakh itu. Al-Suyuthi lebih jauh merinci ayat-ayat nasakh dan macam-macam nasakh. Jumhur ulama seperti yang telah di jelaskan di atas menyetujui adanya nasakh termasuk Imam Syafi’i dan imam-imam yang lain. Alasan adanya nasakh sebagaimana telah tersebut. Jadi dari segi kemaslahatannya dan kebijaksanaan Allah SWT, adanya nasakh dan mansukh dalam syari’at islam dapat di benarkan adanya.[6]
            Adapun dasar-dasar penetapan nasikh mansukh, Manna al-Qattan menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwa suatu ayat dikatan nasikh (menghapus) ayat lain mansukh (dihapus) adalah sebagai berikut:
1.      Melalui pentransmisian yang jelas (An-naql Al-sharih) dari nabi atau para sahabatnya, seperti hadis: “kuntu naihaitukum ‘an ziyarat Al-qubur ala fa zuruha” (aku dulu melarang kalian berjiarah kubur, sekarang berjiarah lah. Juga seperti ungkapan anas berkaitan dengan ashab sumur maunah: “wanujilah fihim quranqaranah hata rufi’a” (untuk mereka telah turun ayat sampai akhirnya dihapus).
2.      Melaui kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh.
3.      Melaui setudi sejarah, mana ayat yang lebih belakang turun, sehingga disebut nasikh, dan mana yang duluan turun disebut mansukh.[7]

D.    Bentuk-Bentuk dan Macam-Macam Nasakh
Pembagian nasakh tenyata berbeda-beda namun perbedaan tersebut tidaklah bertentangan, ‘Abd al-Wahhab Khallaf sebagaimana Muhammad Abu Zahrat membagi nasakh menjadi 4 macam yaitu: Shrih, dhimni, juz’i dan kulli Menurut Zarqany dalam bukunya, Manahil Al-Irfan Isa Al-Rabi Al-Halabi, Nasakh dalam Al-Qur’an ada tiga macam:
1.       Nasakh  bacaan dan hukum. Misalnya apa yang diriwayatkan oleh Muslim dan yang lain, dari Aisyah ra. ia berkata, “Diantara yang diturunkan kepada beliau adalah bahwa sepuluh susunan yang diketahui itu menyebabkan pemahraman, kemudian dinasakh oleh lima susunan yang diketahui. Ketika Rasullah wafat, ‘lima susunan’ ini termasuk ayat al-Qur’an yang dibaca (yang masih berlaku).”Ucapan Aisyah “lima susunan ini termasuk ayat al-Qur’an yang dibaca” secara zhahir menunjukan bahwa bacaannya masih tetap ada. Tetapi tidak demikian halnya, karena tidak terdapat dalam Mushaf Utsmani. Kesimpulan ini dijawab, bahwa yang dimaksud dengan perkataan Aisyah tersebut ialah ketika menjelang beliau wafat.
Yang jelas ialah bahwa tilawahnya itu dinasakh (dihapuskan), tetapi penghapusan ini tidak sampai kepada semua orang kecuali sesudah Rasulullah wafat. Oleh karena itu, ketika beliau wafat, sebagian orang masih tetap membacanya (sebagai bagian dari al-Qur’an).
2.      Nasakh  hukum, sedang tilawahnya tetap. Misalnya nasakh hukum ayat-ayat ‘iddah selama satu tahun, sedang tilawahnya tetap. Mengenai nasakh macam ini banyak disusun kitab-kitab yang di dalamnya di sebutkan bermacam-macam ayat. Padahal setelah di teliti, ayat-ayat seperti itu hanya sedikit jumlahnya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Qadhi Bakr bin Al-Arabi. Ayat lain yang di jadikan contoh antara lain ayat yang mendahulukan sedekah dengan firman-Nya:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) ãLäêøyf»tR tAqߧ9$# (#qãBÏds)sù tû÷üt/ ôytƒ óOä31uqøgwU Zps%y|¹ 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ö/ä3©9 ãygôÛr&ur 4 bÎ*sù óO©9 (#rßÅgrB ¨bÎ*sù ©!$# Öqàÿxî îLìÏm§ ÇÊËÈ  
“Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al- Mujadilah: 12)
Ayat ini di-naskh-kan oleh ayat Al-Mujadilah: 13
÷Läêø)xÿô©r&uä br& (#qãBÏds)è? tû÷üt/ ôytƒ óOä31uqøgwU ;M»s%y|¹ 4 øŒÎ*sù óOs9 (#qè=yèøÿs? z>$s?ur ª!$# öNä3øn=tæ (#qßJŠÏ%r'sù no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèÏÛr&ur ©!$# ¼ã&s!qßuur 4 ª!$#ur 7ŽÎ7yz $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÇÊÌÈ  
“Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) Karena kamu memberikan sedekah sebelum mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah Telah memberi Taubat kepadamu Maka Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Mujadilah: 13)
3.      Di-Nasakh-kan bacaannya dan hukumnya tetap. Contoh semacam ini ialah kewajiban isteri tetap di rumah suami dengan memperoleh nafkah selama 1 tahun penuh (Q.S. Al-Baqarah: 240) di-nasakh-kan oleh ayat yang menentukan iddah mati 4 bulan 10 hari (Q.S. Al-Baqarah: 234). Contoh lain lagi ialah dihapuskannya kiblat ke Bait al-Maqdis (Q.S. Al-Baqarah: 142) di-nasakh-kan oleh (Q.S. Al-Baqarah: 144) dengan menyuruh menghadap ke Masjid al-Haram.
Faedah ditetapkannya bacaan dan di-nasakh-kan hukumnya ada dua: pertama mengingat Al-Qur’an ka adalah kalam Allah agar mendapat pahala bagi yang membacanya. Kedua meringankan beban hukum bagi para mukallaf.[8]
Adapun dari sisi otoritas mana yang lebih berhak menghapus sebuah nash, para ulama membagi nasakh kedalam empat macam,[9] yaitu:
1.      Nask qur’an dengan qur’an. Bagian ini disepakati kebolehaanya dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya nasakh, misalnya ayat tentang iddah empat bulan sepuluh hari.
2.      Nasakh Qur’an dengan sunah. Nasakh ini ada dua macam:
a.       Nasakh Qur’an dengan hadits ahad, jumhur ulama berpendapat, Quran tidak boleh dinaskan oleh hadits ahad, sebab Qur’an adalah mutawatir dan menunjukan yakin, sedang hadits ahad zanni, bersifat dugaan, disamping tidak sah pula menghapus sesuatu yang ma’lum (jelas diketahui) dengan yang maznun (diduga).
b.      Nasakh Quran dengan hadits mutawatir. Nasakh demikian dibolehkan oleh Malik, Abu HAnifah dan Ahmad dalam suatu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Allah berfirman:
$tBur ß,ÏÜZtƒ Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ   ÷bÎ) uqèd žwÎ) ÖÓórur 4ÓyrqムÇÍÈ  
Yang artinya: “Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”(Q.S. An-Najm: 3-4) dan firman lain
Ï Ìç/9$#ur 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍköŽs9Î)
Yang artinya: dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka ( an-Nahal 44)
            Adapun asy-Syafi’I dan ahmad menolak nasakh seperti ini berdasarkan Firman Allah:
* $tB ô|¡YtR ô`ÏB >ptƒ#uä ÷rr& $ygÅ¡YçR ÏNù'tR 9Žösƒ¿2 !$pk÷]ÏiB ÷rr& !$ygÎ=÷WÏB 3
Yang artinya: Ayat mana saja[81] yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.  (al-Baqarah 106)
3.      Nasakh sunah dengan Qur’an. Ini di bolehkan oleh jumhur ulama. Sebagai contoh ialah menghadap ke Baitul Maqdis yang ditetapkan dengan sunah dan didalam al-Qur’an tidak terdapat dalil yang menunjukannya, ketentuan itu dinasakhkan oleh Qur’an dengan firman-Nya:
4 ÉeAuqsù y7ygô_ur tôÜx© ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# 4
Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. (al-Baqaraah: 144)
Kewajiban puasa pada hari asyura yang ditetapkan berdasarkan sunnah, juga dinasak oleh firman Allah:
`yJsù yÍky­ ãNä3YÏB tök¤9$# çmôJÝÁuŠù=sù (
Yang artinya: maka barang siapa menyaksikan bulan ramadhan, hendaklah ia berpuasa’ (al-Baqarah 185). Tetapi nasak versi ini ditolak oleh Syafe’I, menurutnya apa saja yang ditetapkan sunah tentu didukung oleh Qur’an, dan apa saja yang ditetapkan Qur’an tentu diduking pula oleh sunah. Karena alkitab dengan as-sunah harus sejalan dan tidak bertentangan.
4.      Nasakh sunah dengan sunah. Dalam kategori ini terdapat emapat bentuk:
1.      Nasakh mutawatir dengan mutawatir.
2.      Nasakh ahad dengan ahad.
3.      Nasakh ahad denag mutawatir.
4.      Nasakh  mutawatir dengan ahad.
Tiga bentuk yaitu no. 1,2 dan 3 dibolehkan, sedang no.4 terjadi silang pendapat. Dan tidak dibolehkan oleh jumhur ulama.[10]

E.     Hikmah Nasakh
Ada macam-macam hikmah yang dapat ditarik dari nasakh mansukh ini, antara lain:
Sebagai alasan adanya nasakh yang membawa hukum yang lebih berat bertujuan untuk membawa umat ke derajat yang lebih tinggi akhlak dan tingkat peradabannya. Pada mulanya mereka cukup untuk meninggalkan kebiasaan yang sudah lama seperti kasus minum khamar. Pada mulanya masih dinyatakan bahwa khamar mengandung manfaat akan tetapi dosanya lebih berat dari manfaatnya, kemudian khamar di haramkan sama sekali.
1.      Hukum nasakh lebih ringan dari mansukh
Hikmah jenis kedua ini bertujuan untuk memberikan keringanan kepada hamba-Nya dan menunjukan karunia Allah SWT. dan rahmat-Nya. Dengan demikian, hamba-Nya dituntut untuk lebih memperbanyak syukur, memuliakan, dan mencintai agama-Nya.
2.      Hukum nasakh sama beratnya dengan mansukh
Sebagai kebalikan dari pertama dan kedua, dalam bagian ketiga ini nasakh dan mansukh tidak memberikan petunjuk mana yang lebih ringan dan mana yang lebih berat. Para ulama menafsirkan hikmahnya petunjuk untuk menjadi cobaan bagi hamba-Nya sekaligus sebagai pemberitaan untuk menguji siapa di antara mereka yang betul-betul beriman. Siapa yang beriman berarti dia akan selamat dan siapa yang menjadi munafik berarti dia celaka.
Hikmah yang ditarik dari adanya nasakh dan mansukh ini dapat dipahami karena fungsi utama dari syariat itu adalah menjadi hidayah untuk menuntun hamba-Nya sekaligus meningkatkan rasa kesaudaraan mereka akan hakikat dan tujuan hidup ini.[11] Adapun dari sumber lain hikmah dari nasakh dan mansukh adalah sebagai berikut:
1.      Memelihara kepentingan hamba.
2.      Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.
3.      Cobaan dan ujian bagi umat mukalaf untuk mengikutinya atau tidak.
4.      Menghendakai kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab nasakh itu jika beralih ke yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih kehal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.[12]

F.     Contoh-Contoh Nasakh
As-Suyuthi menyebutkan dalam kitabnya Al-Itqan sebanyak dua puluh ayat yang dipandang sebagai ayat-ayat mansukh,
 Firman Allah:
¬!ur ä-̍ô±pRùQ$# Ü>̍øópRùQ$#ur 4 $yJuZ÷ƒr'sù (#q9uqè? §NsVsù çmô_ur «!$#
 “Dan kepunyaan Allah lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah.” (Al-Baqarah: 115) dinasakh oleh ayat:
ÉeAuqsù y7ygô_ur tôÜx© ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# 4
 “Maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.” (Q.S. Al-Baqarah: 144).
Ada yang berpendapat inilah yang benar, bahwa ayat pertama tidak dinasakh sebab ia berkenaan dengan shalat sunnah saat dalam perjalanan yang dilakukan di atas kendaraan, juga dalam keadaan darurat. Dengan demikian, hukum ayat ini tetap berlaku. Sedang ayat kedua berkenaan dengan shalat fardhu lima waktu. Dan yang benar, ayat kedua ini menasakh perintah menghadap ke Bait Maqdis yang di tetapkan dalam sunnah.
Menurutnya, ayat-ayat mansukh berjumlah 20 tempat, yaitu:
1.      Q.S. Al-Baqarah: 180 di-naskh-kan ayat mawarits, menurut yang lain di-naskh-kan oleh hadis: Ada pula yang mengatakan di-naskh-kan oleh ijma.
2.      Q.S. Al-Baqarah: 184 di-naskh-kan ayat 185.
3.       Q.S. Al-Baqarah: 287 di-naskh-kan ayat 183.
4.       Q.S. Al-Baqarah: 217 di-naskh-kan Q.S. At-Taubah: 36.
5.      Q.S. Al-Baqarah: 240 di-naskh-kan ayat 234.
6.      Q.S. Al-Baqarah: 284 di-naskh-kan ayat 286.
7.      Q.S. Al-Baqarah: 102 di-naskh-kan Q.S. At-Taghabun: 16.
8.      Q.S. An-Nisa’: 33 di-naskh-kan Q.S. Al-Anfal: 75.
9.       Q.S. An-Nisa’: 8 di-naskh-kan (menurut sebagian tidak) ayat 15.
10.  Q.S. Al-Maidah: 2 di-naskh-kan dengan boleh berperang.
11.  Q.S. Al-Maidah: 42 di-naskh-kan ayat 49.
12.  Q.S. Al-Anfal: 65 di-naskh-kan ayat sesudahnya.
13.  Q.S. Baraah: 41 di-naskh-kan ayat ‘uzur, Q.S. An-Nur: 61 dan Q.S. At-Taubah: 91-92, 122.
14.  Q.S. An-Nur: 3 di-naskh-kan ayat 32.
15.  Q.S. An-Nur: 58 di-naskh-kan (menurut sebagian tidak).
16.  Q.S. Al-Ahzab: 52 di-naskh-kan ayat 50.
17.  Q.S. Al-Mujadilah: 12 di-naskh-kan ayat 13.
18.  Q.S. AL-Mumtahanah: 11 di-naskh-kan ghanimah dan yang lain muhkam.
19.  Q.S. Al-Muzammil: 2 di-naskh-kan akhir surat, kemudian di-naskh-kan oleh shalat yang lima.
20.  Q.S. Al-Baqarah: 115 di-naskh-kan ayat 144.





















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Naskh adalah hal yang diperbolehkan keberadaannya dalam agama Islam. Hal ini sesuai dengan dalil yang telah datang dari Alqur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Demi menjaga kemashlahatan hamba-Nya, Allah telah menghapus sebagian hukum dalam syari`at Islam. Bila ternyata hukum penggantinya itu lebih ringan, maka itu adalah kemudahan yang diberikan oleh Allah di dunia ini secara langsung, namun apabila ternyata penggantinya lebih berat, maka tidak lain hal ini akan melipat gandakan pahala pelaksananya sebagai balasan atas ketaatannya pada aturan Allah Ta`ala. Bahwa Allah Ta`ala adalah raja segala raja yang hanya Dia-lah yang berkuasa membuat peraturan bagi hamba-hamba-Nya. Maka dari itu hendaknya kita selalu tunduk pada aturan-aturan yang datang dari-Nya, yang berupa perintah maupun larangan. Nasakh adalah sesuatu yang membatalkan, menghapuskan atau memindahkan. sedangkan Mansukh adalah yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan Para ulama sepakat adanya nasikh berdasarkan nash Al Qur’an dan sunnah Syari’at yang selalu memelihara kemaslahatan ummat, oleh karena itu nasikh itu mesti ada dan terjadi pada sebagian hukum – hukum. Nasikh itu terjadi pada berita – berita, tetapi terjadi pada hukum – hukum yang berhubungan dengan halal dan haram, hukum – hukum itu bersumber dari Allah yang disyari’atkan demi kemaslahatan dan kebahagiaan manusiaagar tidak Menyimpang dari jalan yang lurus dan mengikuti jejak orang – orang yang sesat yang akan menjadikan penyebab kesengsaraan.







DAFTAR PUSTAKA

·         Anwar, Abu, ulumul Qur’an (sebuah pengantar),Pekan Baru, Amjah, 2009, cet.3
·         Anwar, Rosihon, ulumul Qur’an, Bandung, Pustakasetia, 2008, cet. 1
·         AS. Mudjakar.Studi Ilmu-ilmu Quran (tejemahan darimabahis fi ulumil Qur’an karya Manna al-Qattan), Jakarta, Litera antar nusa bekerjasama dengan Halim Jaya,2009, cet. 12
·         http://blog.uin-malang.ac.id/cairudin/?p=224
·         http://studi-al-quran.blogspot.com/p/nasakh-mansukh-dalam-alquran.html
·         www.kampussyariah.com








[1] Rasihon anwar, ulum al-Qur’an,CV pustaka setia, Bandung, 2008, cet 1
[2] http://tafsiralquranhadis.blogspot.com/2010/07/nasakh-dalam-alquran.html
[3] Rasihon anwar, ulum al-Qur’an,CV pustaka setia, Bandung, 2008, cet 1. Hal. 165
[4] Drs. Mudjakar AS, studi ilmu-ilmu Qur’an,pustaka litera antar nusa. Halim jaya, Jakarta2009, (terjemahan; mabahis fi ulumui qur’an, Manna Khalil al-Qattan) cet. 12 hal.327-329
[5]  WWW.kampussyariah.com
[7] Rasihon anwar, ulum al-Qur’an,CV pustaka setia, Bandung, 2008, cet 1. Hal. 168-189
[9] Rasihon anwar, ulum al-Qur’an,CV pustaka setia, Bandung, 2008, cet 1. Hal. 177
[10] Drs. Mudjakar AS, studi ilmu-ilmu Qur’an,pustaka litera antar nusa. Halim jaya, Jakarta2009, (terjemahan; mabahis fi ulumui qur’an, Manna Khalil al-Qattan) cet. 12 hal.334-336
[12] Drs. Mudjakar AS, studi ilmu-ilmu Qur’an,pustaka litera antar nusa. Halim jaya, Jakarta2009, (terjemahan; mabahis fi ulumui qur’an, Manna Khalil al-Qattan) cet. 12 hal 339

Komentar

Postingan Populer